Di tengah riuh dunia yang tak pernah memberi jeda, Indonesia hari ini berdiri sebagai bangsa yang terus bergerak. Kita melihat gedung-gedung terbangun, ekonomi tetap tumbuh meski dunia melemah, dan energi optimisme menyala dari kota hingga desa. Namun, setiap kemajuan selalu membawa pertanyaan: apakah semua ini benar-benar menguatkan kita sebagai bangsa? Atau sekadar meninabobokkan kita lewat angka dan grafik?
Optimisme itu penting, tetapi ia akan rapuh jika tidak disertai kejujuran, dan kejujuran inilah yang hari ini mulai kembali dicari.
Pertumbuhan Ekonomi Tidak Salah, Ia Hanya Perlu Ditemani Kesadaran
Tidak ada yang keliru dari kebanggaan atas pertumbuhan ekonomi stabil. Bahkan patut diapresiasi ditengah kondisi dunia yang tengah gamang, konflik global mengancam rantai pasok, sementara banyak negara besar justru terpeleset resesi. Indonesia berhasil berdiri tegak.
Namun pertumbuhan tanpa kesadaran adalah pertumbuhan yang riskan. Kita melihat ketimpangan masih terjadi; akses kesehatan dan pendidikan belum merata; generasi muda di desa masih bertanya-tanya kapan kesempatan itu sampai ke pintu rumah mereka. Alam pun juga mulai menunjukkan tanda-tanda lelah.
Kritiknya sederhana:
Pertumbuhan ini baik, tapi jangan hanya dinikmati, tapi harus juga dibenahi.
Lingkungan Bukan Penghambat Pembangunan, Ia Fondasi Masa Depan
Bencana yang lebih sering datang bukanlah kutukan, melainkan pengingat. Ekonomi yang tumbuh, tetapi alam yang retak, adalah kemajuan yang pincang.
Namun alih-alih pesimis, ini justru momentum untuk menciptakan arah baru. Indonesia punya peluang besar menjadi negara berkembang yang benar-benar berkelanjutan, bukan sekadar slogan.
Solusi yang bisa ditempuh:
- Melibatkan pemuda dan komunitas lokal dalam pemetaan risiko bencana. Mereka yang tinggal di lapangan adalah mata dan telinga alam.
- Mengintegrasikan green economy ke proyek besar; dari energi surya desa, pengelolaan sampah berbasis digital, hingga insentif bagi UMKM ramah lingkungan.
- Menghentikan paradigma lama bahwa alam adalah “biaya”. Dalam ekonomi modern, alam adalah modal: semakin dijaga, semakin tinggi nilai tambahnya.
Ketidakmerataan Kesempatan: Titik Lemah yang Bisa Menjadi Titik Perubahan
Ketimpangan bukan keniscayaan. Ia bisa disembuhkan. Tetapi hanya bila kita berhenti menganggap desa sebagai halaman belakang negara.
Kritiknya jelas:
Pembangunan sering menatap ke depan, tetapi lupa menunduk ke bawah.
Namun solusi terbuka lebar:
- Afirmasi literasi digital dan vokasional di daerah tertinggal, agar pemuda tidak hanya menjadi penonton pembangunan, tetapi menjadi penggeraknya.
- Kolaborasi pemerintah–kampus–komunitas untuk mencetak talenta desa sebagai pengusaha lokal, inovator, dan pemimpin perubahan.
- Membangun pusat pertumbuhan baru, bukan sekadar di Jawa, tetapi dari Aceh sampai Merauke, dari pesisir hingga pegunungan.
Kita Boleh Berlari, Asal Paham Arah
Indonesia memiliki energi besar. Kita punya bonus demografi, kekayaan alam, stabilitas politik relatif, dan semangat masyarakat yang luar biasa. Kita bukan bangsa yang kekurangan daya, kita hanya perlu memperjelas arah.
Kemajuan sejati bukan soal cepat atau lambat, tapi soal tepat:
tepat sasaran, tepat manfaat, tepat masa depan.
Solusi terbesar dari semua ini adalah satu: menjadikan pembangunan sebagai gerakan bersama.
(Pemerintah mengarahkan, masyarakat menggerakkan, pemuda menyempurnakan.)
Menutup dengan Harapan yang Dewasa
Bangsa ini terlalu besar untuk hanyut dalam pesimisme, dan terlalu berharga untuk dibiarkan berjalan tanpa refleksi. Kritik bukan untuk melemahkan, tetapi untuk mengingatkan; solusi bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk diwujudkan. Indonesia sedang bertumbuh.
Tugas kita adalah memastikan pertumbuhan itu tidak hanya tinggi, tetapi juga adil, merata, berkelanjutan, dan manusiawi.
Karena negara besar bukan hanya yang maju, tetapi yang mampu membawa seluruh rakyatnya maju bersama.
