![]() |
Salim Abuzaid, siswa MAN Bondowoso (Dok: Istimewa) |
REDACTION - CERPEN Membosankan. Hanya ada suara ketukan jam dinding, kasur berantakan yang belum ia rapikan sejak tadi karena pikirannya masih entah ke mana, dan genangan air di luar yang terus mengalir akibat hujan deras sejak siang.
Remaja itu masih memikirkan sebesar apa dampak perbuatannya di sekolah tadi. Suara-suara itu masih bergema di benaknya, mengganggu seperti nyamuk yang tak kunjung pergi.
“Kamu yang namanya Sazan, kan? Tidak usah sok benar dan sombong deh. Buat apa kamu kritik aku seolah-olah kamu lebih tahu segalanya? Aku ketua OSIS! Aku bebas dong melakukan apa saja. Kamu sudah bikin reputasi aku hancur! Kamu sudah menghina aku dengan alasan ‘menyampaikan pendapat’, jadi jangan salahkan aku kalau besok orang tuaku datang langsung ke sekolah! Kamu tahu mereka siapa, kan? Donatur utama sekolah ini! Besok temui aku lagi ya. Lihat saja!”
Begitu ucapan Maxwel, si ketua OSIS baru, sepulang sekolah - tepat setelah pukulan mendarat di wajah Sazan, balasan atas keberaniannya mengeluarkan suara saat rapat OSIS bersama pak Bima yang menanyakan bagaimana kinerja Maxwel sebagai ketua OSIS.
“Saya ingin protes, Pak. Katanya
OSIS akan mengadakan program kerja baru dan seluruh siswa diminta membayar dua
puluh ribu rupiah. Tapi program itu batal, dan uang kami sama sekali tidak
kembali. Selain itu sebelumnya, Ketua OSIS juga sudah beberapa kali melakukan
pemungutan liar yang tidak jelas,” cetus Sazan dengan jujur.
Lonceng tanda pulang pun berbunyi.
“Sazan, jangan pulang dulu. Pak
Kepala Sekolah memanggil kamu,” ucap
Bu Mimik, guru Bahasa Indonesia yang kebetulan mengajar di kelas pada saat jam
terakhir pembelajaran.
Dengan jantung berdegup kencang, Sazan melangkah ke ruang
kepala sekolah. Sazan berharap tidak akan terjadi apa-apa, karena ia tidak
melihat Maxwel sejak kejadian pagi tadi. Dan tepat di sana, ia melihat Maxwel
bersama kedua orang tuanya. Perban membungkus lengan Maxwel.
“Kemarin Sazan menyerang saya, Pak.
Pakai benda tajam lagi. Lihat, lengan saya sampai keseleo begini! Dia memang
benci sama saya sejak dulu. Apalagi tadi dia sudah memfitnah saya melakukan pungli
sewaktu rapat OSIS! Entah apa maksud Sazan, Pak,” ujar Maxwel sambil berpura-pura menangis.
“Kamu yang lakukan semua ini? Anak
saya salah apa sampai kamu tega begitu?!” bentak ayah Maxwel, sang pejabat ternama.
Sazan terdiam. Hatinya berteriak, namun lidahnya tidak bisa
berkata apa-apa. Ia yang difitnah, namun tak punya daya untuk membela dirinya
yang berdiri sendirian di sana.
“Kamu masih diam? Berarti kamu benar
melakukannya?” tanya Pak
Kepala Sekolah.
Sazan menguatkan diri.
“SAYA DIFITNAH, PAK! SEMUA ITU
BOHONG! SIAPA LAGI YANG BISA SAYA PERCAYA?!” teriaknya lantang.
Namun semua seolah sudah diatur. Pembelaan Sazan tidak
berarti apa-apa, hanya seperti angina lalu saja.
“Kamu akan langsung dikembalikan kepada
orang tuamu. Kamu tidak bisa sekolah di sini lagi,” ujar Pak Kepala Sekolah.
“Saya sumpahin kamu nggak bisa
sekolah di mana pun!” tambah
ibu Maxwel sambil mencibir.
Sazan hanya bisa menahan sesak. Apa yang harus ia katakan
pada ayahnya nanti, sebagai satu-satunya orang tua yang yang sudah membesarkannya
susah payah seorang diri selama ini?
***
Tiga minggu sudah Sazan tidak bersekolah, tepatnya semenjak
dikeluarkan dengan semena-mena begitu saja. Ayahnya hanya bisa pasrah dan terus
sebisa mungkin mendampingi putranya. Ia tak pernah memarahi Sazan, hanya kaget
mengetahui betapa rumit dunia anaknya. Sazan selama ini jarang bercerita
masalah apapun yang dihadapinya karena takut menjadi beban pikiran berat bagi sang
ayah. Apalagi, sampai saat ini masih belum ada satu sekolah pun yang menerima
Sazan untuk bersekolah kembali.
“Entahlah... mungkin aku nggak
ditakdirkan untuk sekolah lagi,” ucap
Sazan melalui telepon yang ia genggam lebih dari dua jam.
“Maxwel itu licik. Ia memanfaatkan ayahnya
yang punya kuasa. Kamu sabar ya, Zan. Aku udah kirim makanan untuk kamu lewat
ojek online,” hibur suara
lembut dari seberang.
Tak berapa lama, ayah Sazan masuk ke rumah membawa plastik
besar.
“Nak, kamu pesan apa? Ini ada nasi goreng lima bungkus,
loh.”
Sazan tersenyum lebar, lalu langsung menyantapnya. Kemudian
ia menyadari bahwa di sela-sela kotak nasi, ada secarik kertas yang bertuliskan:
“Kalau nggak habis, bagikan ke
tetangga atau siapa pun yang membutuhkan ya, Zan. Semangat!”
Senyum kembali terbentuk di wajahnya. Ia sangat bersyukur.
Ternyata masih ada orang baik di sekolah itu.
“Shakira namanya, Ayah. Dia...
seperti malaikat, eh maksudku—”
Ayah hanya tertawa, menduga anaknya sedang kasmaran.
“Alhamdulillah. Kapan-kapan ajak dia
ke rumah, Nak. Biar Ayah masakkan bubur kacang hijau kesukaanmu,” ujarnya.
“Baik Ayah, oh iya aku mau antar
nasi ini dulu ya!”
***
Tiga kali Sazan mengucap salam di depan rumah sederhana itu,
sebelum akhirnya pintu kayu dibuka.
“Fauzan, aku bawain nasi. Buat kamu
dan adikmu.”
Lelaki yang baru saja membuka pintu
itu menyuruh Sazan masuk terlebih dahulu untuk berbincang karena mereka sudah
jarang bertemu.
Fauzan, seorang anak yang susah
payah menafkahi adiknya, dan hanya tinggal berdua dengan adik satu-satunya itu,
adalah lelaki tangguh. Bagaimana tidak? Saat kelas enam SD, ibunya kabur dari
rumah akibat suatu masalah. Tak lama kemudian, ayahnya kabur bersama wanita
lain tepat saat Fauzan yang harusnya merayakan kelulusan sekolah dasar. Kini ia
berumur enam belas tahun. Sudah bertahun-tahun ia hidup di rumah yang ayahnya
tinggalkan. Sambil berjualan kerupuk keliling, ia berjuang dan putus sekolah
demi menafkahi adik laki-lakinya yang terkena gizi buruk dan tidak bisa berobat
karena masalah biaya.
Mereka berbincang lama. Di akhir
pembicaraan, Fauzan menghibur Sazan.
“Bersabarlah, Zan. Masih ada Allah,” ujar Fauzan.
“Terima kasih.. Oh iya ayah titip
pesan, kenalannya insya Allah bisa membantu adikmu untuk berobat dengan
asuransi kesehatan, semoga masalahnya segera teratasi dan semua membaik untuk
kita ya..” Sazan pulang
dengan perasaan lega.
Setelah itu, Sazan menelepon Shakira, mengucapkan terima
kasih atas segalanya.
***
Berita televisi menampilkan kabar pilu:
“Seorang ibu kehilangan anaknya
setelah malapraktik operasi di rumah sakit diduga abal-abal. Korban berobat menggunakan
BPJS. Pihak rumah sakit belum bertanggung jawab.”
Sazan menatap layar kosong, lalu menutup televisi dan
mengambil buku pemberian ayahnya, hadiah ulang tahunnya yang keenam belas
bertajuk Laut Bercerita. Ia
berencana menyelesaikan buku itu, setelah pusing menyaksikan aneka tayangan
televisi yang membuatnya pilu.
Ayah pun duduk di sampingnya.
“Dulu, kebebasan berpendapat selalu
dibungkam, Nak. Banyak kejadian mnyedihkan yang terjadi karena itu. Bahkan
salah satu teman ayah sempat mengalami penculikan karena menyuarakan isi
hatinya. Sekarang, katanya zaman sudah maju, tapi praktiknya? Masih banyak hal
seperti itu,” ujar ayah
sedih.
“Contohnya, Ayah?” tanya Sazan dengan serius.
“Contohnya ada pada dirimu sendiri,
Nak. Apa yang terjadi padamu mirip dengan hal yang kita bahas kan, artinya
walau berbeda namun kejadian semacam itu masih ada.”
Sazan mengangguk paham.
***
“Ayah! Shakira ada di TV!” seru Sazan dengan semangatnya. Shakita
tampak di tayangan sedang menampilkan tari Jaipong di sebuah lomba sekolah.
“Shakira itu masih mempertahankan
budaya, loh Yah. Rumahnya pun masih tradisional. Sehari-harinya, ia juga kerap memakai kebaya
di antara gempuran baju modern saat ini!” cerita Sazan bangga.
Sazan kemudian menelepon Shakira untuk menunjukkan dukungan
dan kekagumannya. Saat itu, Shakira menyampaikan sebuah kabar gembira untuk
Sazan:
“Kaki aku keram
banget, latihan buat lomba ini gila-gilaan loh Zan! Tapi aku senang karena
berhasil tampil maksimal. Oh iya, aku berencana mengunggah video epic di media
sosial buat tugas mading sekolah. Terkait apa yang sedang terjadi di sekolah
kita, dan ini juga berkaitan dengan kamu. Stay tune ya!”
***
Beberapa hari kemudian, video yang dimaksud Shakira akhirnya
tayang dan tak disangka, langsung viral ke mana-mana:
“Kalian sadar gak sih
teman-teman? Negara kita ini sedang dijajah diam-diam. Banyak anak putus
sekolah, pengemis, dan juga pemungut jalanan. Padahal pendidikan adalah hak
sipil, hak setiap warga negara! Tapi, para pejabat hanya peduli dengan uang
suap. Lihat! Temanku, Sazan, berani bicara soal pungli OSIS yang terjadi di
sekolah. Apa yang terjadi? Dia seketika langsung dibungkam dan dikeluarkan dari
sekolah! Kepala sekolahku langsung yang memutuskannya, bahkan tanpa
mendengarkan kedua pihak dengan adil!”
“Bukannya kita punya hak kebebasan berpendapat? Apa masuk akal, hanya
karena mengkritik orang, lalu kita disingkirkan begitu aja?! Apalagi katanya
kita ini punya hak perlindungan anak. Nah! Kalau guru, kepala sekolah, dan
lainnya aja gak melindungi dan mendukung, lalu siapa yang bisa kita percaya?
Kalian tahu, sampai detik ini, temanku Sazan belum diterima di sekolah lain karena
ia difitnah oleh oknum tadi!”
“Terus, kalau kita bahas kepala
sekolahku lebih lanjut? Dana PMR tidak dikasih. Entah buat apa. Katanya kalau
ada yang sakit, ya sudah pulang saja, berobat sendiri sana. Mana hak kesehatan
dasar dan kesejahteraan seorang siswa kalau begitu? Jelas diabaikan!”
“Teman-teman, butuh waktu dan nyali
besar bagiku untuk mengunggah ini. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Meskipun aku juga terancam, tapi bagaimana lagi? Harus ada yang bersuara demi
perubahan! Terima kasih sudah menonton. Jangan mau dibungkam ya, kawan-kawan!”
Akibat video Shakira, Maxwel langsung diturunkan dari
jabatan OSIS. Kepala sekolah dicopot dan tertangkap atas kasus korupsi, yang
ternyata masih ada banyak lagi. Sazan pun diperbolehkan bersekolah kembali.
***
“Zan, ayo foto bareng! Aku yang
potret!” seru Shakira di depan sekolah,
mengabadikan kenangan sebelum masa jabatannya sebagai ketua OSIS berakhir.
“Kalau dulu sama Maxwel, mana mau
dia foto bareng begini,”
ucap Nuril, salah satu pengurus.
“Sudahlah, tidak usah dibahas lagi.
Semoga sekarang Maxwel sudah sadar dan baik-baik saja di manapun dia berada,” balas Sazan tenang.
“1, 2, 3!” klik. Shakira menekan tombol shutter kamera.
“Eh, Bapak ikut foto juga dong!” ujar Pak Khai, kepala
sekolah baru yang ditunjuk untuk menggantikan kepala sekolah sebelumnya.