Urgensi Penguasaan Linguistik sebagai Bekal Public Speaking


Dwi Angga Septianingrum, S.Pd, M.Pd (Dok: Istimewa)

REDACTION - Berbicara di depan publik adalah keterampilan yang tampak sederhana, namun sesungguhnya menuntut kesiapan yang mendalam. Bagi pejabat, tokoh masyarakat, maupun tokoh masyarakat, setiap kata yang terucap akan selalu ditangkap, diajukan, bahkan diperiksa. Ucapan pejabat bukan sekadar komunikasi pribadi, melainkan juga cerminan kebijakan dan sikap negara. Oleh karena itu, kualitas komunikasi publik memiliki dampak besar terhadap kepercayaan masyarakat. Sayangnya, fenomena yang berkembang saat ini justru menunjukkan kecenderungan sejumlah pejabat lebih sering berbicara secara asal bunyi, atau yang populer disebut asbun.

Fenomena asbun ini menampilkan bahwa sebagian pejabat lebih mengutamakan kecepatan bereaksi daripada presisi berbahasa. Akibatnya, muncul berbagai pernyataan yang tidak dianggap matang-matang sehingga menimbulkan keresahan. Ada yang ambigu, ada yang terkesan meremehkan penderitaan masyarakat, dan ada pula yang justru memperparah ketegangan sosial. Di era media sosial, setiap kalimat bisa direkam, dipotong, lalu disebarkan secara masif. Ucapan yang semula dimaksudkan sebagai penjelasan atau komentar ringan dapat berubah menjadi kontroversi yang sulit dikendalikan.
Jika ditelusuri lebih dalam, persoalan ini dihilangkan pada lemahnya penguasaan linguistik. Linguistik bukan sekedar ilmu tata bahasa yang kaku, melainkan landasan ilmiah untuk memahami, mengolah, dan menyampaikan bahasa secara efektif. Seorang pejabat yang menguasai linguistik akan lebih mampu berbicara secara elegan, jelas, dan tepat sasaran. Tiga cabang linguistik yang sangat relevan dalam konteks ini adalah semantik, psikolinguistik, dan pragmatik.

Semantik tekanan pada aspek makna. Banyak kegaduhan masyarakat sebenarnya muncul karena kesalahan dalam memilih kata. Sebuah kalimat yang bermaksud menyemangati bisa meremehkan bila pemahamannya tidak tepat. Dengan penguasaan semantik, pejabat dapat memilih kata yang sesuai, konsisten, dan tidak menimbulkan tafsir ganda.

Psikolinguistik memberi pemahaman tentang bagaimana masyarakat memproses bahasa. Audiens tidak hanya mendengar, tetapi juga membayangkan, mengingat, serta beberapa ujaran dengan emosi mereka. Jika bahasa yang dipilih terlalu rumit atau disampaikan dengan nada yang tidak empatik, pesan akan ditolak meskipun substansinya benar. Prinsip psikolinguistik membantu pejabat menyusun narasi yang mudah dipahami, menyentuh sisi emosional, dan sekaligus menjaga akurasi pesan.
Pragmatik mengajarkan bahwa bahasa selalu terikat konteks. Ucapan yang wajar dalam situasi santai bisa menimbulkan masalah besar dalam forum resmi. Banyak pernyataan pejabat yang menjadi kontroversial bukan karena salah dalam tata bahasa, tetapi karena tidak sesuai dengan suasana sosial-politik. Dengan pemahaman pragmatik, pejabat dapat menentukan siapa audiensnya, tujuan komunikasinya, serta dampak sosial dari ujaran yang disampaikan.

Mengabaikan aspek ketiga ini hanya akan melahirkan komunikasi publik yang rapuh. Bukannya memperkuat legitimasi, ucapan pejabat justru menjadi bumerang. Dalam masyarakat digital, kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi bahan kritik, sindiran, bahkan cemoohan yang menggerus institusi wibawa. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa harus dipandang sebagai bagian dari etika dan tanggung jawab pejabat publik.
Selain penguasaan teori linguistik, pejabat juga memerlukan pelatihan retorika yang dilakukan secara berkala. Retorika bukan sekedar seni berpidato, melainkan keterampilan mengatur alur bicara, menyusun argumentasi, serta menyampaikan pesan dengan logika dan daya persuasi yang kuat. Pelatihan secara berkala penting karena dunia komunikasi selalu berubah seiring perkembangan media, budaya, dan ekspektasi masyarakat. Dengan retorika yang terasah, pejabat dapat berargumentasi dengan lebih meyakinkan sekaligus tetap menjaga kesantunan.

Lebih jauh lagi, pejabat seharusnya memiliki sertifikat public speaking yang kredibel sebelum diberi mandat berbicara di forum besar. Sertifikasi ini menjadi tolok ukur profesionalisme, layaknya sertifikasi kompetensi di bidang lain. Melalui sertifikat yang diakui secara nasional maupun internasional, masyarakat dapat menilai bahwa pejabat tersebut telah memenuhi standar tertentu dalam hal berbicara, berargumentasi, dan menyampaikan pesan publik. Hal ini sekaligus menumbuhkan kepercayaan bahwa setiap pernyataan pejabat bukanlah sekadar spontanitas, melainkan hasil dari keterampilan komunikasi yang teruji.

Dengan kombinasi penguasaan linguistik, retorika, dan public speaking yang tersertifikasi, pejabat komunikasi tidak lagi sekadar mengandalkan spontanitas. Sebaliknya, setiap ujaran akan dirancang untuk memenuhi dua fungsi utama: informatif dan persuasif. Fungsinya memastikan masyarakat memperoleh pemahaman yang jelas dan akurat, sedangkan fungsi persuasif membantu membangun kepercayaan serta meringankan keresahan.

Sudah tiba saatnya pemerintah menjadikan penguasaan bahasa sebagai bagian dari pelatihan pejabat publik. Pelatihan semantik akan membuat mereka peka terhadap makna. Psikolinguistik akan membimbing mereka menyesuaikan pesan dengan cara berpikir audiens. Pragmatik akan menjaga ujaran tetap sesuai konteks sosial. Sementara itu, retorika yang rutin diasah akan memperkuat kemampuan argumentasi, dan sertifikasi public speaking akan memberikan legitimasi profesional.

Pada akhirnya, berbicara di depan publik tanpa bekal linguistik dan retorika ibarat membangun rumah tanpa fondasi. Ia mungkin berdiri sebentar, namun mudah roboh saat badai kritik datang. Sebaliknya, dengan penguasaan bahasa yang matang, retorika yang pengintaian, serta sertifikasi yang kredibel, pejabat dapat tampil lebih bernas, elegan, dan dipercaya. Kata-kata mereka bukan lagi sekadar rangkaian bunyi, melainkan instrumen kebijakan yang hidup, yang mampu merangkul masyarakat, menenangkan keresahan, dan memperkuat persatuan.



Penulis : Dwi Angga Septianingrum, S.Pd, M.Pd
              Pemerhati bahasa dan komunikasi


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال