BONDOWOSO, REDACTION - Setidaknya ada tiga buku utama yang saya baca kembali untuk menulis essai ini. Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, Habis Gelap Terbitlah Terang karya Arjmin Pane, dan Gelap-Terang Hidup Kartini (Seri Buku Tempo: Perempuan-Perempuan Perkasa).
Hal itu saya lakukan sebagai wujud penghargaan dan rasa hormat saya kepada Kartini sebagai sosok yang sangat literat. Saya meyakini bahwa hanya orang-orang yang lahap membaca saja yang akan mahir dalam menulis. Kartini sudah mampu menuliskan ide, pemikiran, perasaan, dan gagasannya saat perempuan lain di sekitarnya bahkan masih belum bisa membaca.
Kartini adalah simbol kepekaan hati seorang perempuan terhadap lingkungan dan kaumnya. Jiwa keibuannya tumbuh bahkan jauh sebelum ia menjadi seorang istri sekali pun. Kartini sangat memahami suara hati kaumnya. Ia menjadi wanita pelopor di negeri ini yang menyuarakan hak pendidikan bagi perempuan. Seakan ia begitu meresapi bahwa seorang perempuan kelak akan menjadi Madrasatul Ula (sekolah pertama) bagi putra-putrinya. Oleh karena itu, seorang perempuan harus menjadi orang yang terdidik, harus mengenyam pendidikan. Ia menggunakan diksi yang cukup menggetarkan saat mengungkap perjuangan itu. “Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh!”, ungkap Kartini.
Kepedulian yang begitu tinggi dari seorang Kartini tentang hak pendidikan bagi kaum perempuan, kian menguatkan tekad saya dalam menjalani profesi saya sebagai seorang pendidik (guru). Hal itu seakan menjadi penerang bahwa jalur pendidikan adalah alternatif jalan untuk meneruskan perjuangan Kartini. Perjuangan untuk mewujudkan cita-citanya, bahwa perempuan harus terdidik, dan perjuangan untuk terus menggemakan ajakannya agar perempuan meraih posisinya untuk setara dengan pria dalam mendapatkan hak pendidikan. Sebagian pihak menyebut perjuangan beliau itu dengan istilah emansipasi wanita.
Menekuni profesi sebagai pendidik (guru) membuat saya merasa bisa menyeimbangkan antara kodrat saya sebagai perempuan (seorang istri dan seorang ibu) dengan keinginan untuk berkarier. Waktu dinas saya sebagai guru yang hanya sampai siang (setengah hari) membuat saya masih dapat melaksanakan tugas-tugas utama saya sebagai ratu dalam rumah tangga. Melayani kebutuhan suami sebelum berangkat dan saat pulang kerja, menyiapkan sarapan buatnya dan anak-anak, baru kemudian menuju sekolah untuk turut mencedaskan kehidupan anak bangsa. Menjalani dua peran tersebut, dalam rumah tangga dan tempat kerja, menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Menjadi wanita karier tanpa menanggalkan kodratnya sebagai perempuan.
Kesan yang saya peroleh dari proses pembacaan tentang Kartini, ia begitu gigih memperjuangkan kesetaraan dalam mengenyam pendidikan. Ia begitu getol menyuarakan bahwa pendidikan adalah untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan, baik kaya ataupun miskin. Hal itu karena di masa itu hanya kaum tertentu (laki-laki dan bangsawan saja) yang bisa memperoleh pendidikan, selain dari kalangan bangsawan Eropa.
Perjuangan Kartini belum usai. Bahwa pendidikan adalah hak semua orang, barangkali hingga kini masih terus perlu kita perjuangkan. Masih ada sebagian dari saudara kita, anak-anak bangsa ini, yang nasibnya masih kurang beruntung untuk dapat menerima layanan pendidikan layak. Akses yang sangat jauh, sarana yang kurang memadai, dan tanggung jawab untuk turut menanggung biaya kebutuhan keluarga, terkadang menyebabkan seorang anak tidak dapat mengenyam pendidikan regular.
Guna membuat siswa dapat belajar secara mandiri dengan mudah, dan untuk terus menjaga motivasi belajar mandiri mereka, dibutuhkan kreativitas dan inovasi pembelajaran yang dilakukan guru. Hal itu mengingat pembelajaran lebih banyak dilakukan siswa secara mandiri di rumah di tengah rutinitas mereka yang juga sudah bekerja.
Konsep belajar mandiri yang kami kembangkan merupakan konsep ‘belajar dari pengalaman’, yang populer dengan istilah experiential learning. Hal tersebut karena pengalaman belajar mandiri yang dialami siswa akan menjadi pengalaman berharga mereka sebelum menerima pembelajaran tahap lanjut dari Guru Bina. Siswa mengalami tahapan belajar mengalami secara langsung, berkelanjutan, dan berulang. Dalam istilah pendidikan, hal demikian setara dengan istilah ‘belajar dari kesalahan sebelumnya’.
Bermula dari pengalaman yang diperoleh sebelumnya, kemudian dilakukan terus-menerus secara berkelanjutan, maka keterampilan yang ditargetkan akan tercapai serta mampu menghindari terjadinya suatu kesalahan. Konsep demikian setara dengan istilah Learning by doing, experiening and undergoing.
Yang lebih kami tekankan dalam pembelajaran berbasis trimori adalah motivasi belajar mandiri. Melalui penanaman karakter mandiri diharapkan siswa tidak mudah tergantung pada orang lain dan mampu menyelesaikan masalah atau persoalan yang mereka hadapi. Kiranya kompetensi itu juga sangat dibutuhkan guna menghadapi kehidupan di era industri 4.0 dan society 5.0 di kehidupan abad 21.
Pendidikan bukan sebatas menjadi pengetahuan, namun harus menjadi kekuatan, menjadi pegangan hidup, dan menjadi penuntun jalan dalam bertindak dan berperilaku. Sebagaimana pernah dikatakan tentang Kartin, “Apa yang sudah dibaca Kartini, digenggamnya terus di dalam tangannya, dan ikut memperkuat moralnya”. Semacam pesan yang sangat gamblang bagi kita bahwa ilmu yang kita miliki, pendidikan yang kita peroleh, seharusnya menjadi bekal kita dalam bertindak dan berperilaku.
Semoga kita, -Kartini Masa Kini-, Para Perempuan Indonesia yang berkesempatan mengenyam pendidikan, terlebih pendidikan tinggi, akan mampu meneruskan apa yang Kartini sudah teladankan. Bahwa pendidikan harus memperkuat moral. Semakin tinggi pendidikan yang kita lalui, sudah semestinya membuat moral kita menjadi lebih kuat, lebih baik. Insya Allah hal demikianlah yang akan membuat kita menjadi penerang sehabis gelap.