Oleh: Rafi Sofyan – Kader PMII, Ketua Divisi Pendidikan & Penelitian LBH Ansor Bondowoso, GusDurian Bondowoso, Penggerak GSM Jatim, Staff Millenials Komisi Nasional Pendidikan Jatim
Pernahkah kita bertanya, ke mana arah mahasiswa setelah toga terlipat rapi, setelah nama dipanggil dan tepuk tangan membahana?
Ruang-ruang kampus yang dulu riuh oleh diskusi kini senyap, digantikan oleh kecemasan: “Aku mau jadi apa?”Pertanyaan yang menghantui ribuan sarjana setiap tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat, angka pengangguran terbuka lulusan universitas mencapai 5,87%. Ironis, sebab di ruang-ruang kuliah kita diajarkan teori kebijakan, manajemen industri, sampai ekonomi pembangunan, tetapi lupa satu hal: kehidupan setelah wisuda tidak memberi kisi-kisi ujian.
Namun, benarkah kampus gagal? Tidak. Yang gagal adalah kesadaran kita sendiri jika menganggap ijazah adalah tiket emas. Toga bukan jaminan, ia hanya tanda. Sebab dunia kerja menuntut lebih dari sekadar hafalan teori; ia menuntut kemampuan memimpin, beradaptasi, berjejaring, dan bertahan dalam pusaran zaman yang kian cepat.
Organisasi: Universitas Kehidupan yang Sering Dilupakan
Di sinilah organisasi menjadi benar-benar menjadi universitas kehidupan. PMII, HMI, IMM, GMNI, BEM hingga UKM, semua itu bukan sekadar ruang rapat dan stempel panitia. Ia adalah kawah candradimuka tempat kita belajar mengelola konflik, merancang strategi, hingga memahami seni memimpin manusia. Dunia kerja hari ini mengagungkan soft skills yang tak pernah tercatat di lembar KHS. Deloitte merilis laporan bahwa 92% perusahaan global menempatkan keterampilan komunikasi dan kepemimpinan sebagai prioritas utama perekrutan, bahkan lebih tinggi daripada IPK.
Saya teringat sebuah pertemuan dengan penggerak Gerakan Sekolah Menyenangkan di Jatim. Kami berdiskusi panjang tentang pendidikan yang memerdekakan, bahwa ruang belajar tak boleh sekadar hafalan, tapi harus melahirkan kreativitas dan kolaborasi. Begitu pula organisasi: ia mengajarkan kita memimpin rapat meski kantong tipis, berorasi meski suara serak, memutuskan arah meski berada di antara arus pro-kontra.
Mahasiswa dan Jalan Panjang Menuju Kepemimpinan
Lihatlah sejarah: banyak pemimpin besar lahir bukan dari menulis skripsi terbaik, tetapi dari mengasah diri dalam organisasi. Gus Dur, Abdul Muhaimin Iskandar, hingga Aminuddin Ma’ruf semua menjejak jalan organisasi sebelum menjejak kursi kepemimpinan. Bukan soal popularitas, melainkan pembiasaan untuk berpikir strategis, memecahkan masalah, dan menyentuh realitas.
Pertanyaannya, apakah kita masih percaya organisasi relevan di era digital? Jawaban saya: sangat. Justru di tengah disrupsi, mereka yang mampu mengelola jejaring, memimpin tim, dan mengorganisir gagasan akan bertahan. Data LinkedIn 2023 menegaskan, kemampuan kepemimpinan adalah keterampilan yang paling dicari setelah literasi digital.
Jadi, Ke Mana Arah Kita?
Pasca toga, ada dua pilihan: menjadi penonton yang pasif atau sutradara bagi panggung hidup kita sendiri. Jika memilih yang kedua, maka mulailah dari sekarang, jangan tunggu lulus, organisasi adalah latihan terbaik. Sebab hidup ini bukan tentang siapa yang tercepat, tetapi siapa yang paling siap.
Saya percaya, mahasiswa yang mengasah diri di organisasi, entah itu PMII, BEM, UKM, akan melangkah lebih tegak. Ia tak hanya membawa gelar sarjana, tapi juga gelar pengalaman: pemimpin rapat, penggerak isu sosial, negosiator, penulis opini, pembicara publik. Semua itu adalah mata uang di era kompetitif ini.
Karena pada akhirnya, ijazah adalah kunci, tetapi organisasi adalah pintu, dunia luar menunggu mereka yang berani membukanya.