Redaction, Jember – Pendidikan Indonesia kini bagai hamparan sungai besar. Di satu tepi, mengalir harapan melalui Kurikulum Merdeka, yang menjanjikan kebebasan belajar dan ruang kreatif bagi peserta didik. Di tepi lain, deras arus digitalisasi menggerakkan zaman, menggiring dunia pendidikan menuju teknologi. Namun, di tengah aliran ini, ada batu besar bernama kesenjangan akses, yang menghalangi jutaan anak bangsa untuk menyeberang.
Di sinilah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat FKIP Universitas Jember mencoba membangun jembatan. Pada Selasa (26/8), mereka menggelar diskusi bertajuk
“Masa Depan Pendidikan Indonesia: Antara Kurikulum Merdeka, Digitalisasi, dan Kesenjangan Akses” di ruang diskusi FKIP.
Diskusi ini dipantik oleh sosok muda yang telah lama berkiprah di dunia pendidikan: Rafi Sofyan. Ia bukan hanya kader PMII, tetapi juga Ketua Divisi Pendidikan dan Penelitian LBH Ansor Bondowoso, Penggerak Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Jawa Timur, dan Staff Millenials Komisi Nasional Pendidikan (Komnasdik).
“Perubahan ini adalah keniscayaan. Kurikulum Merdeka dan digitalisasi adalah peluang besar, tapi kita harus memastikan agar setiap anak punya jembatan menuju masa depan, bukan jurang yang menelan mimpi mereka,” ucap Rafi Sofyan, membuka diskusi dengan nada optimistis.
Forum ini mengupas tiga simpul persoalan utama:
Diskusi melahirkan tiga rekomendasi strategis:
- Pelatihan intensif untuk guru agar Kurikulum Merdeka tak sekadar jargon.
- Penguatan literasi digital bagi calon pendidik untuk bersaing di era AI.
- Kolaborasi organisasi pemuda, perguruan tinggi, dan pemerintah untuk menjembatani ketimpangan akses teknologi.
“PMII FKIP UNEJ harus hadir sebagai jembatan yang menghubungkan idealisme dengan realitas. Pendidikan adalah hak semua, bukan sekadar slogan,” tutup Rafi Sofyan.