REDACTION, BONDOWOSO - Beberapa pekan terakhir, media sosial kita dipenuhi perbincangan tentang film SORE: Istri dari Masa Depan. Film karya Yandy Laurens ini tak hanya mencuri perhatian karena tema fantasi-romantis yang unik, namun juga karena kehadiran tokoh utamanya. Sore, diperankan dengan apik oleh Sheila Dara Aisha. Sore bukan sekadar karakter perempuan dalam kisah cinta lintas waktu. Ia adalah gambaran dari sosok komunikator yang cerdas secara pragmatik: tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan bagaimana cara menyampaikan pesan secara tepat tanpa harus mendominasi percakapan.
Dalam dunia ilmu bahasa, cabang yang membahas aspek makna dalam konteks ini disebut pragmatik. Melalui kacamata pragmatik, kita bisa melihat bahwa tokoh Sore mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan komunikasi bukan hanya terletak pada panjangnya kata-kata, tingginya suara, atau banyaknya penjelasan, tapi pada ketepatan waktu, konteks, dan pengaruh emosional yang dihasilkan oleh sebuah tuturan.
Mari kita tengok salah satu dialog paling terkenal dari tokoh ini. “Aku nggak datang buat bikin kamu jatuh cinta. Aku datang buat bantu kamu berubah”. Kalimat ini sederhana, tapi dalam. Ia tidak hanya menyampaikan maksud (dengan maksim relevansi dan kuantitas dalam teori Grice), tetapi juga mengandung pesan mendalam yang menyentuh psikologis lawan bicara dan penonton. Tidak ada basa-basi, tidak pula manipulasi. Hanya kebenaran yang disampaikan dengan penuh kontrol emosional. Sore tahu betul bahwa kata-kata bisa menjadi alat perubahan, dan ia memilih menggunakannya dengan sangat hemat tapi tepat.
Lebih dari itu, tokoh ini menarik karena kemampuannya memanfaatkan diam sebagai bagian dari komunikasi. Dalam teori pragmatik, ini disebut strategic silence atau diam yang disengaja untuk memberi ruang kepada makna agar tumbuh sendiri di benak pendengar. Sore tidak merasa perlu menjelaskan semua hal. Ia tahu bahwa dalam banyak percakapan, diam bisa berbicara lebih keras daripada kata. Dengan diam, ia menata giliran bicara (turn-taking), mengatur alur emosi, dan memperkuat pesan yang sebelumnya sudah disampaikan.
Tone bicaranya? Tenang tapi tegas. Tidak pernah terdengar membentak atau meninggi. Justru di situlah kekuatannya. Ia tampil sebagai perempuan yang tidak kehilangan kendali dalam konflik, tapi juga tidak bersikap pasif. Dalam budaya kita yang sering kali mengaitkan ketegasan dengan volume suara, kehadiran tokoh seperti Sore menjadi pembelajaran penting. Bahwa ketegasan bisa hadir dalam bentuk kelembutan.
Kemampuan Sore dalam berkomunikasi juga mencerminkan penggunaan implikatur—yakni makna tersembunyi dari ujaran. Ketika ia berkata, “Gak muter-muter. Gak over-explain”. Ia seolah sedang mengkritik gaya komunikasi yang terlalu banyak bicara tanpa makna. Ia tidak mengomentari langsung perilaku orang lain, tapi menyelipkan nilai melalui kalimat sederhana. Ini menunjukkan bahwa ia menguasai seni menyampaikan maksud tanpa menyakiti.
Tidak kalah penting, bahasa tubuh dan tatapannya juga berbicara. Ini adalah aspek nonverbal pragmatics—komunikasi yang tidak menggunakan kata tapi tetap sarat makna. Tatapan Sore yang tenang, postur tubuh yang tidak defensif, serta gerak-gerik yang tidak agresif, menegaskan bahwa ia tahu siapa dirinya dan apa yang ingin ia sampaikan. Presuposisi atau asumsi dasar dari semua ucapannya adalah: “Saya datang bukan untuk bertarung, tapi untuk mengubah.” Dan keyakinan ini tak hanya disuarakan lewat kata, tapi juga dibisikkan lewat gesture.
Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari tokoh fiksi ini? Pertama, bahwa komunikasi bukan tentang siapa yang paling keras bicara, tetapi siapa yang paling tepat bicara. Dalam era digital yang serba cepat dan gaduh ini, sering kali kita tergoda untuk selalu bereaksi cepat dan berbicara banyak. Padahal, kadang-kadang, kekuatan justru hadir dalam keheningan yang terukur.
Kedua, bahwa perempuan dapat tampil kuat dalam komunikasi tanpa harus meniru cara maskulin yang agresif. Sore menunjukkan bahwa kelembutan, jika dikemas dengan kontrol, dapat menjadi bentuk ketegasan yang menginspirasi.
Dan ketiga, bahwa pragmatik bukan sekadar ilmu kelas, tapi seni hidup. Cara kita berbicara, kapan kita memilih diam, bagaimana kita menatap orang lain, semuanya adalah bagian dari komunikasi yang efektif dan beretika. Kita tidak hanya sedang menyampaikan pesan, tapi juga sedang membentuk relasi, membangun kepercayaan, dan memberi makna. Film SORE: Istri dari Masa Depan mungkin adalah karya fiksi. Tapi pesan dari tokoh Sore terasa begitu nyata dan relevan dalam kehidupan kita hari ini. Di tengah dunia yang riuh, mungkin kita semua butuh sedikit menjadi seperti Sore: lebih tenang, lebih terarah, dan lebih bijak dalam memilih kata.
Dalam dunia ilmu bahasa, cabang yang membahas aspek makna dalam konteks ini disebut pragmatik. Melalui kacamata pragmatik, kita bisa melihat bahwa tokoh Sore mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan komunikasi bukan hanya terletak pada panjangnya kata-kata, tingginya suara, atau banyaknya penjelasan, tapi pada ketepatan waktu, konteks, dan pengaruh emosional yang dihasilkan oleh sebuah tuturan.
Mari kita tengok salah satu dialog paling terkenal dari tokoh ini. “Aku nggak datang buat bikin kamu jatuh cinta. Aku datang buat bantu kamu berubah”. Kalimat ini sederhana, tapi dalam. Ia tidak hanya menyampaikan maksud (dengan maksim relevansi dan kuantitas dalam teori Grice), tetapi juga mengandung pesan mendalam yang menyentuh psikologis lawan bicara dan penonton. Tidak ada basa-basi, tidak pula manipulasi. Hanya kebenaran yang disampaikan dengan penuh kontrol emosional. Sore tahu betul bahwa kata-kata bisa menjadi alat perubahan, dan ia memilih menggunakannya dengan sangat hemat tapi tepat.
Lebih dari itu, tokoh ini menarik karena kemampuannya memanfaatkan diam sebagai bagian dari komunikasi. Dalam teori pragmatik, ini disebut strategic silence atau diam yang disengaja untuk memberi ruang kepada makna agar tumbuh sendiri di benak pendengar. Sore tidak merasa perlu menjelaskan semua hal. Ia tahu bahwa dalam banyak percakapan, diam bisa berbicara lebih keras daripada kata. Dengan diam, ia menata giliran bicara (turn-taking), mengatur alur emosi, dan memperkuat pesan yang sebelumnya sudah disampaikan.
Tone bicaranya? Tenang tapi tegas. Tidak pernah terdengar membentak atau meninggi. Justru di situlah kekuatannya. Ia tampil sebagai perempuan yang tidak kehilangan kendali dalam konflik, tapi juga tidak bersikap pasif. Dalam budaya kita yang sering kali mengaitkan ketegasan dengan volume suara, kehadiran tokoh seperti Sore menjadi pembelajaran penting. Bahwa ketegasan bisa hadir dalam bentuk kelembutan.
Kemampuan Sore dalam berkomunikasi juga mencerminkan penggunaan implikatur—yakni makna tersembunyi dari ujaran. Ketika ia berkata, “Gak muter-muter. Gak over-explain”. Ia seolah sedang mengkritik gaya komunikasi yang terlalu banyak bicara tanpa makna. Ia tidak mengomentari langsung perilaku orang lain, tapi menyelipkan nilai melalui kalimat sederhana. Ini menunjukkan bahwa ia menguasai seni menyampaikan maksud tanpa menyakiti.
Tidak kalah penting, bahasa tubuh dan tatapannya juga berbicara. Ini adalah aspek nonverbal pragmatics—komunikasi yang tidak menggunakan kata tapi tetap sarat makna. Tatapan Sore yang tenang, postur tubuh yang tidak defensif, serta gerak-gerik yang tidak agresif, menegaskan bahwa ia tahu siapa dirinya dan apa yang ingin ia sampaikan. Presuposisi atau asumsi dasar dari semua ucapannya adalah: “Saya datang bukan untuk bertarung, tapi untuk mengubah.” Dan keyakinan ini tak hanya disuarakan lewat kata, tapi juga dibisikkan lewat gesture.
Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari tokoh fiksi ini? Pertama, bahwa komunikasi bukan tentang siapa yang paling keras bicara, tetapi siapa yang paling tepat bicara. Dalam era digital yang serba cepat dan gaduh ini, sering kali kita tergoda untuk selalu bereaksi cepat dan berbicara banyak. Padahal, kadang-kadang, kekuatan justru hadir dalam keheningan yang terukur.
Kedua, bahwa perempuan dapat tampil kuat dalam komunikasi tanpa harus meniru cara maskulin yang agresif. Sore menunjukkan bahwa kelembutan, jika dikemas dengan kontrol, dapat menjadi bentuk ketegasan yang menginspirasi.
Dan ketiga, bahwa pragmatik bukan sekadar ilmu kelas, tapi seni hidup. Cara kita berbicara, kapan kita memilih diam, bagaimana kita menatap orang lain, semuanya adalah bagian dari komunikasi yang efektif dan beretika. Kita tidak hanya sedang menyampaikan pesan, tapi juga sedang membentuk relasi, membangun kepercayaan, dan memberi makna. Film SORE: Istri dari Masa Depan mungkin adalah karya fiksi. Tapi pesan dari tokoh Sore terasa begitu nyata dan relevan dalam kehidupan kita hari ini. Di tengah dunia yang riuh, mungkin kita semua butuh sedikit menjadi seperti Sore: lebih tenang, lebih terarah, dan lebih bijak dalam memilih kata.
*) Dwi
Angga Septianingrum adalah pemerhati bahasa dan komunikasi, tinggal di
Bondowoso, Jawa Timur
Editor: M. Nur Haris