Bondowoso,
2004
Aku kembali kepada tanah kelahiran
sebab suatu kabar. Sebelum sampai di rumah masa kecil, mobil ini kuhentikan di
sebuah stasiun tua. Tempat yang menyimpan jutaan memoriku sepuluh tahun silam….
***
Bondowoso,
1994
Keripik singkong ini membuatku
bertahan hidup sejak bapak tak sanggup lagi memenuhi kebutuhanku. Para
penumpang kereta begitu antusias menyicipi daganganku, bocah laki-laki yang
masih berumur sepuluh tahun. Bahkan hari ini aku menciptakan rekor menjual habis
seluruh keripik singkong daganganku.
Pak
Daryo, juragan keripik singkong yang kujual, memberikan upah hasil kerja
kerasku. Ketika aku tengah sibuk menghitung uang, Mas Tejo, penjual keripik
singkong berusia dua puluh tahunan di terminal juga tengah menyetorkan uang
hasil dagangan. Aku mulai memperhatikan ketika Pak Daryo menyerahkan upah
kepada Mas Tejo. Bagaimana bisa uang yang Mas Tejo terima lebih banyak padahal
dagangan miliknya masih tersisa separuh? Padahal kami sama-sama diberi tiga
puluh renteng pagi tadi. Tentu saja, aku memprotes ketidakadilan ini.
Namun
Pak Daryo membalas dengan amarah, “Diam bocah! Itu sudah kuberikan banyak uang
untukmu. Beruntung kau kuberi pekerjaan ini meskipun kau masih kecil.”
“Bocah,
mulai besok kau jualan di terminal dan aku yang jualan di stasiun. Aku butuh
banyak uang untuk membeli celana denim,” ucap Mas Tejo sembari mendekat ke
arahku.
Ini
tidak adil! Aku bahkan putus sekolah tahun lalu demi fokus mencari penghasilan
untuk makan dan obat bapak. Tentu kutolak mentah-mentah tawaran Mas Tejo. Ia
menarik kaos ku sembari mengancam akan membuatku tidak bisa menjual keripik
singkong lagi. Sialnya, Pak Daryo hanya memperhatikan kami dengan senyuman. Terpaksa,
kuterima tawaran itu.
***
Tidak kusangka! Walau hari ini
berjualan di terminal, daganganku malah lebih laris. Aku mulai memikirkan Mas
Tejo berjualan dengan bermalas-malasan hingga ia tidak mendapat hasil maksimal.
Ketika aku sampai di rumah Pak Daryo, aku melihat Mas Tejo telah sampai lebih
dulu di tempat itu. Mas Tejo tiba-tiba menarik tubuhku keluar, sesaat setelah
aku menyetorkan hasil jualan.
“Kau pasti curang dan diam-diam
tetap berjualan di stasiun kan bocah? Pantas saja daganganku tetap sepi.” Mas
Tejo mulai menampar pipi ku.
Aku memberontak dan
menendang-nendang tubuh Mas Tejo. “Salah Mas sendiri! Jangan bermalas-malasan
kalau jualan!”
Amarah Mas Tejo semakin memuncak. Ia
mengepalkan tangan dan mulai diarahkan kepadaku. Sebelum pukulan itu sempat
mengenai wajahku, seseorang berteriak untuk menghentikan aksinya. Mas Tejo
panik bergegas pergi dari tempat ini. Mereka adalah Pak RT dengan didampingi
seorang pria asing berjas.
Mereka mengantarku pulang. Bapak
menyambut kepulanganku dengan raut khawatir, ditemani tongkat yang ia gunakan
untuk pegangan saat berjalan. Pak RT memperkenalkan pria berjas tersebut
bernama Pak Sutono, seorang dokter asal Jogja yang tengah berkunjung ke
Bondowoso. Aku mulai menceritakan kronologi kejadian tadi serta Pak RT juga
menjelaskan bahwa aku adalah seorang piatu yang putus sekolah. Pak Sutono
bertanya kepadaku dan bapak tentang penyakit yang diderita bapak. Namun kami
tidak bisa menjawab sebab bapak tidak pernah sekalipun periksa kepada dokter
karena tidak mempunyai cukup biaya.
“Saya akan membantu pengobatan
bapak. Teman saya seorang dokter di kota ini, dia akan merawat bapak sampai
pulih. Tapi dengan satu syarat,” ucap Pak Sutono.
Pak Sutono tersenyum lalu berkata,
“Ikut saya ke Jogja, saya akan menyekolahkan kamu sampai perguruan tinggi.”
Hatiku bergejolak. Haruskah aku meninggalkan
bapak?
Tangan lemah bapak menyentuh
ubun-ubunku. “Pergilah, Ahmad….”
***
Bondowoso, 2004
Aku, Ahmad. Seorang mahasiswa hukum
kampus bergengsi di Jogja yang berasal dari kota tape. Stasiun ini berhenti
beroperasi, tetapi kenangan di dalamnya masih tetap abadi dalam hati. Setelah
puas menikmati atmosfer stasiun ini dari bahu jalan selama lima menit, aku
bergegas melanjutkan perjalanan.
Ketika sampai, dari kejauhan bapak
menyambutku dengan jubah putih rapi dan senyuman hangat sembari melambaikan
tangan.
***