Kelam Mewangi


Sri Lestasi adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember. (Istimewa)

Redaction.com - Sarayu hampir menggoreskan benda tajam itu di tangan mungilnya, sebelum akhirnya jerit tangis adiknya yang masih berusia enam bulan berhasil membuat tangannya yang gemetar melempar pisau itu. Kejadian lima tahun silam membuat hidupnya mati sampai detik ini, membuat hari-harinya bak rumah tua yang tak berpenghuni, kosong dan sunyi. 

Di bilik kecil tempatnya merebahkan segala penat, Sarayu mulai melempar angannya pada kejadian lima tahun silam, sebuah momen pahit telah merenggut gelora baik di hidupnya, masa lalu yang selalu mencekiknya setiap kali dia mencoba bangkit. Saat itu dia baru saja pulang sekolah, tubuhnya yang masih berbalut seragam putih abu-abu seketika langsung terbaring begitu saja di sofa ruang keluarga karena saking lelahnya. Rumah tua  itu terlihat sepi, Sarayu hanya memiliki dua tetangga dan kebetulan semuanya sedang ada urusan di luar rumah, hari itu ibunya pergi ke pasar bersama Dalia─adik kecil perempuannya dan ayahnya, Abraham, selalu keluyuran tidak jelas entah ke mana. Tiba-tiba pintu belakang rumah terbuka dengan begitu pelan, Sarayu masih saja tertidur pulas, Abraham mendekat ke tubuh Sarayu. Gadis lugu yang tertidur pulas itu terbangun dan merintih ketika merasakan lengannya perih, betapa terkejutnya dia saat membuka netranya, pakaian luarnya sudah berserakan entah ke mana dan lebih mengejutkan lagi ketika melihat Abraham dengan wajah tersenyum seram membawa pisau di tangan kirinya, tanpa disadari Sarayu, lengan kirinya mengucurkan darah segar, ia menjerit kesakitan. Namun, sang ayah membungkam mulut wanita itu, Sarayu berontak dan terus menjerit,  Abraham pun membentaknya dan menodongkan pisau ke arah gadis kecil itu sebagai ancaman. Ketika Sarayu sudah diam, pria berambut gondrong itu membersihkan luka anak gadisnya sembari menatap tajam ke mata Sarayu yang tubuhnya sedang bergetar hebat dengan rambut acak-acakan. Setelah selesai membersihkan luka tersebut, Abraham melenggang begitu saja meninggalkan Sarayu. Saat langkahnya sampai di belakang pintu rumah, pria berengsek itu  berpapasan dengan Agni─Istrinya dan hampir dihajarnya wanita tua itu oleh Abraham yang langkahnya semakin gontai. Sebenarnya keberengsekan pria bermata sayu itu sudah ada sejak kelahiran Dalia, hanya saja Sarayu dan Agni tak berani bersuara dan baru kali pertama ini Abraham melakukan keberengsekan yang begitu berengsek. Saat itulah Agni langsung menceraikan Abraham dan memutuskan untuk pergi dari rumah dengan segala kekacauannya itu. 

Lamunannya buyar ketika Sarayu mendengar ketukan pintu kamarnya yang semakin keras, ibunya tahu jika Sarayu pasti sedang tidak baik-baik saja. Ketika pintu kamar terbuka, Agni langsung memeluk erat-erat anak gadisnya itu hingga tenang. Alarm ponsel Sarayu berdering , membuat jemari lentiknya melepaskan pelukan ibunya dan segera bergegas untuk kuliah. Seperti biasa, ketika keluar rumah para tetangganya memandang tak suka ke gadis cantik itu, berita tentang pelecehan yang dilakukan Abraham sudah tersebar luas hingga ke kampusnya. Satu tahun lalu buku harian Sarayu tidak sengaja tertinggal di ruang kelas dan kemudian ada seseorang yang membacanya. Dengan akal liciknya, orang tersebut membuat berita yang 80% isinya tidak benar dan seperti dugaan, orang lain langsung menelan mentah-mentah berita tersebut, membuat citra gadis berprestasi itu rusak parah. Dia sempat mengajukan pembelaan ke pihak berwajib, tetapi sudah setahun lamanya pembelaan itu tak kunjung diberikan. Kecaman sosial yang terjadi sempat membuatnya kacau dan hancur sehancur-hancurnya. Sekarang inilah Sarayu, gadis yang  setiap waktu dipandang rendah oleh lingkungannya, membuat kehadirannya ditolak  banyak orang dan merambah ke bakat menulisnya yang hari ini dia pendam  sedalam-dalamnya. Saat ini dia hidup dengan noda dan traumanya, gadis elok itu belum mampu berpikir jernih sepenuhnya, terkadang masih muncul niat buruk untuk mengakhiri hidup. 

Di bawah sinar rembulan yang tersenyum elok, Sarayu duduk di meja kecil kamarnya. Dalam keheningan malam yang tenang, ia merenung dan mencoba merangkai pemikiran-pemikiran yang telah lama terpendam dalam benaknya. Tuhan telah melihat perjuangan hidupnya dan sang  rembulan telah menjadi saksi bisu atas setiap langkah yang ia ambil. Sarayu tahu bahwa ia harus kuat. Meskipun luka-luka masa lalu masih terasa dalam setiap langkahnya, ia tidak bisa menyerah. Ada dua alasan besar yang membuatnya harus terus maju, yaitu ibu dan adiknya. Dia juga kembali mendorong jarinya yang kaku untuk melanjutkan bakat menulisnya, menuliskan kisahnya sembari ditemani secangkir kopi setiap malam tiba, kisah yang hitamnya belum usai itu ia coba kirimkan ke salah satu penerbit. Hari itu tiba, ketika sebuah surat dari penerbit datang. Sarayu menahan napasnya saat membaca isi surat tersebut. Bibirnya tersenyum begitu manis ketika ia mengetahui bahwa tulisannya telah diterima dan akan dimuat dalam sebuah media massa. Linangan air matanya mengalir membasahi pipi dengan rona merah itu, ia bangga sekali melihat perjuangannya selama ini telah membuahkan hasil.

Dua tahun telah berlalu sejak bukunya pertama kali terbit. Setiap cetakan baru menghasilkan riuh ketenangan dalam batin Sarayu. Dia kini telah menjadi penulis yang diakui dan kisah hidupnya yang kelam telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Dengan keteguhan dan semangat, ia berhasil mengubah luka menjadi kekuatan dan dalam setiap halamannya, ia menemukan kemenangannya. Melalui kelihaian merangkai kata lewat novel yang ditulisnya, membuat banyak orang tahu dan percaya akan kisah yang sebenarnya terjadi, keadaan lingkungan sekitarnya juga kembali membaik. Sarayu sedikit demi sedikit diterima masyarakat dan bahkan menjadi pembicara ternama dalam beberapa seminar nasional bergengsi. Pada akhirnya, kebesaran hati Sarayu mengantarkannya pada suatu mimpi yang selama ini ia dambakan. 

“Man Jadda Wa Jadda, siapa yang bersungguh-sungguh dialah yang akan berhasil,” tutur sang Ibu sembari memeluk kedua anak tersayangnya itu.


Penulis : Sri Lestari, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Editor : Haris

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال