Eoredaction.com - Pada era media sosial khususnya laman Instagram, twitter, facebook, bahkan tiktok telah mengubah stigma ‘mulutmu harimaumu’ menjadi ‘jarimu harimaumu’.
Stigma tersebut menguar dengan dampak yang semakin meningkat terutama kebebasan bermedia sosial.
Maka, medsos telah menjadi ruang yang memiliki peran krusial dalam spasial dan ruang politik yang berkembang.
Medsos juga menjadi ruang ekspresi baru bagi berbagai lapisan masyarakat dalam satu dekade terakhir ini. Sebagaimana Data Reportal (Digital, 2022) yang menunjukkan bahwa pada bulan Januari 2022 hingga Januari 2024 pengguna media sosial Indonesia mencapai 191, 4 juta.
Data tersebut menggambarkan setara dengan 68,9% dari total populasi di Indonesia. Dari berbagai ragam media sosial yang ada, seperti Instagram, tiktok, twitter, dan youtube merupakan yang pilihan dengan peminat tertinggi di Indonesia sepanjang tahun 2022 hingga 2024.
Media sosial menembus dan hampir menghilangkan batas-batas ruang dan waktu. Ruang privat berubah menjadi ruang publik yang luas dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi pun berubah dari komunikasi yang melihat lawan tutur sebagai pembeda cara berkomunikasi kini menjadi komunikasi yang hampir dapat dikatakan liar tanpa kendali kesantunan.
Hal tersebut seringkali menggiring pengguna media sosial pada konflik-konflik sosial di ruang maya, tidak hanya pada dunia maya tempat komunikasi tersebut berlangsung namun berlanjut pada pelaporan kasus hukum. Bahasa yang dipergunakan di dalam media sosial tersebut menjadi sebuah alat seperti pisau bermata dua. Sebab, bahasa dapat menjadi alat untuk mengkonstruksi diri menjadi baik dan dapat pula sebaliknya.
Diksi merupakan bagian dari penggunaan bahasa. Diksi yang mengandung motto atau tag tertentu pada umumnya memiliki konteks yang bernilai paradoks dengan kenyataan, misalnya mengatakan tag ‘murah banget’ untuk barang yang memiliki harga yang mahal.
Sehingga, diksi yang memuat komentar terhadap keyakinan/agama tertentu pada umumnya merupakan diksi-diksi yang bermakna sensitif pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Maka, pilihan kata yang tepat dan benar yang mengandung unsur ancaman terhadap seseorang/institusi merupakan diksi yang memuat kata-kata berupa ancaman seperti "aku penggal kepalamu", dan lain sebagainya.
Diksi yang mengandung gurauan/humor merupakan diksi-diksi yang diniatkan oleh penuturnya untuk humor tetapi menimbulkan konflik sosial di masyarakat karena humor yang dilontarkan tersebut dibahasakan dengan konteks yang tidak berterima atau kandungan humornya tidak jelas.
Diksi yang mengandung hoax (berita bohong) merupakan diksi-diksi yang merupakan diksi yang viral dan hangat pada tahun 2022 hingga 2023. Diksi-diksi seperti ini menjadi viral dan terseret ke dalam ranah hukum karena penuh dengan kebohongan yang dilakukan secara masif dan sistematis oleh pengguna media sosial.
Lantas apa korelasi antara pemilihan diksi saat bersosial media dengan seberapa bagus ‘value diri’ pada saat menggunakan sosial media tersebut? Bisa jadi.
Kita lihat sejumlah pemilik akun Instagram yang telah terverifikasi sehingga pengguna lain mengetahui bahwa pemilik akun tersebut orang asli dan dapat dipercaya (centang biru) dengan latar belakang pendidikan mumpuni serta profesi pendidik yang sering menuliskan caption pada postingan atau menuliskan status (Instagram story) maupun cuitan di twitter.
Mereka memiliki kecenderungan sangat berhati-hati dalam pemilihan diksi agar tidak mudah munai kontroversi. Najwa Shihab misalnya, salah satu presenter kondang dengan latar belakang pendidikan sarjana komunikasi yang mumpuni, jelas akan lebih menggunakan diksi-diksi yang menyiratkan betapa bernas dan cerdas sosoknya daripada diksi-diksi yang bermuatan ujaran kebencian, penghinaan, atau SARA.
Selain itu, ada pemilik akun Instagram maupun twitter dengan identitas Okky Madasari sebagai seorang penulis sastra, jurnalis, akademisi yang sedengan menempuh master degree di Singapura.
Pilihan diksi Okky Madasari saat mengkritisi isu-isu sosial pun juga dipilih ‘apik’ tanpa harus bermuatan ujaran kebencian, penghinaan, atau SARA. Berbagai karya tulis Okky Madasari baik berupa opini maupun feature juga menyiratkan seberapa luas dan cadas pemikirannya akan isu-isu sosial, dan juga seberapa keren ‘value diri’ yang dimiliki.
Tidak hanya akademisi, beberapa tokoh yang bercentang biru seperti Ustadz Salim A. Fillah, dr. Mesty Ariotedjo, S.PA, MPH, Psikolog Analisa Widyaningrum dan Verauli, bahkan mindfulness terapis seperti Adjie Santosoputro pun juga terlihat luar biasa dengan berbagai pilihan diksi yang “bermakna” dalam setiap caption atau postingan yang mereka unggah.
Deretan bercentang biru ini mampu menunjukkan jika pilihan diksi mampu menggambarkan bagaimana ‘value diri’ yang mereka miliki dan bagaimana ‘value diri’ tersebut mampu memberikan ‘positive vibes’ kepada setiap pengikutnya.
Tentu hal ini berbeda jika kita melihat sebentar ke beberapa akun gosip sensasi artis, yang dalam kolom komentar disediakan berbagai komentar dengan kata-kata yang kurang etis bahkan vulgar diketikkan oleh para komentator.
Terlepas dari heterogenitas latar belakang, tingkat pendidikan, pekerjaan, bahkan usia komentator, tidak bisa dipungkiri bahwa diksi yang mereka pilih menunjukkan gambaran bagaimana mereka berbahasa dan menjunjung kesantunan berbahasa.
Jadi, mari kita mulai memperhatikan pilihan-pilihan diksi saat berbahasa dalam bermedia sosial. Bahasa-bahasa yang santun tentu akan dihasilkan dari insan-insan bermartabat. Bukan tentang siapa yang keren, tetapi bahasa terutama pilihan diksi mampu menujukkan bagaimana karakter yang kita miliki, penyikapan kita terhadap sebuah isu, yang mana hal tersebut juga berkorelasi dengan bagaimana ‘value diri’ kita terbentuk.
Sopan santun dalam berbahasa yang dituangkan dalam pemilihan diksi merupakan wujud pertimbangan akal budi saat kita berkomunikasi dengan mitra tutur. High Value, High Attitude, Polite Diction. Salam literasi!
Kontributor : Dwi Angga Septianingrum (Penulis adalah Pembimbing Karya Tulis Ilmiah MAN BONDOWOSO, Pengajar Bahasa Indonesia, dan Mitra Badan Pusat Statistik Kabupaten Bondowoso Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur)
Editor : Haris
