BONDOWOSO, REDACTION - Revolusi industri 5.0 sering ditafsirkan dengan cara salah. Seolah di era ini segala sesuatu harus menyesuaikan dengan selera global. Seolah hal yang sedang viral di negara lain perlu segera diadaptasi ke dalam negeri. Kemudian semakin banyak hal yang asing menjadi budaya dan kegemaran di negeri sendiri. Sedangkan budaya bangsa sering terpinggirkan.
Pelajaran bahasa diharapkan menjadi perantara untuk menggugah kesadaran siswa agar lebih mencintai budaya bangsa. Melalui pembelajaran bahasa, para guru bahasa diharapkan menumbuhkan kecintaan siswa terhadap budaya bangsanya. Cinta terhadap keberagaman sebagai sumber kekayaan bangsa. Hal itulah yang perlu ditanamkan sebagai karakter utama siswa melalui pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa perlu diarahkan pada upaya menggali kekhasan lokal daerah untuk dijadikan konteks pembelajaran. Selain kompetensi berbahasa, siswa diharapkan kemampuan untuk membahasakan citra daerah dan bangsanya agar lebih dikenal. Perlu pengembangan pembelajaran bahasa yang membumi, kontekstual, dan sarat nilai kearifan lokal.
Contoh penerapan pembelajaran bahasa berkearifan lokal adalah pembelajaran menulis teks deskripsi berkearifan lokal. Setiap siswa diharapkan mampu mendeskripsikan objek wisata andalan daerahnya untuk dijadikan teks deskripsi. Berbagai objek wisata dari seluruh Indonesia bisa terekspos dari teks hasil belajar siswa.
Kearifan lokal memiliki enam dimensi. Pertama, dimensi pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal terkait pengetahuan tentang lingkungan hidupnya. Seperti halnya pengetahuan tentang perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis flora dan fauna, kondisi geografis, demografis, dan sosiografis. Hal demikian merupakan objek yang layak menjadi perhatian siswa sebagai bahan menulis berbagai jenis teks.
Kedua, dimensi nilai lokal. Nilai lokal dimaksudkan untuk mengatur kehidupan antar warga masyarakat. Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang disepakati dan ditaati bersama oleh seluruh anggotanya. Pada dimensi ini siswa melalui pembelajaran bahasa dibentuk menjadi pribadi yang beretika, yang santun dalam berbahasa, dan sopan dalam perilaku.
Ketiga, dimensi keterampilan lokal. Keterampilan lokal terkait kemampuan masyarakat bertahan hidup (survival). Keterampilan dalam hal berbahasa dapat pula diajarkan di sekolah melalui pembelajaran bahasa. Seperti halnya pembelajaran menjadi pembawa acara dalam acara-acara sosial, budaya, dan kemasyarakatan.
Keempat, dimensi sumber daya lokal. Wujud sumber daya lokal umumnya berupa sumber daya yang dapat dan tak dapat diperbaharui. Seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, pemukiman. Selain menjadi objek materi pembelajaran, dimensi ini dapat pula menjadi objek pelaksanaan pembelajaran. Bukankah pembejaran tidak harus selalu di dalam kelas?
Kelima, dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal. Setiap masyarakat biasanya mempunyai pemerintahan lokal sendiri. Pada setiap pemerintahan tersebut terdapat mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda. Pada konteks ini siswa diajakan etika pergaulan dan cara berkomunikasi, serta pembelajaran berbasis penyelesaian masalah yang sesuai dengan konteks lokal.
Keenam, dimensi solidaritas kelompok lokal. Setiap masyarakat mempunyai media–media untuk mengikat warganya, baik berupa ritual keagamaan atau upacara adat lain. Pelibatan siswa dalam berbagai kegiatan budaya tersebut, ditambah penugasan untuk memahami dan menguak nilai-nilai dalam ritual tertentu akan menjadi pengetahuan dan pengalaman yang sangat berarti.
Ada beberapa alasan mengapa kita perlu kembali ke kearifan lokal. Pertama, adanya kesadaran bahwa budaya lokal merupakan lahan penyemaian benih-benih karakter. Budaya lokal perlu menjadi bekal yang mewarnai tumbuh kembang suatu generasi. Nilai-nilai kearifan lokal adalah cara untuk membekali generasi muda akan kompleksitas kecakapan menghadapi era revolusi industri 5.0.
Kedua, kebudayaan memerlukan upaya pemeliharaan, pengembangan, dan pemberdayaan. Hal yang dapat dilakukan diantaranya melalui pendidikan. Hal demikian akan menciptakan generasi muda yang tidak tercerabut dari akar budayanya, justru diharapkan dapat melestarikan dan mengembangkan budaya lokalnya menjadi budaya global.
Ketiga, antisipasi keterasingan budaya lokal di tengah gempuran budaya asing. Melalui berbagai peranti modern, nilai-nilai yang berasal dari luar turut mewarnai corak sendi-sendi kehidupan bangsa. Melalui pembelajaran bahasa berkearifan lokal diharapkan membantu siswa untuk lebih menghargai ragam budaya lokal, dan tidak hanya terpengaruh dan mengikuti budaya populer lain yang merupakan budaya asing.
Keempat, fungsi kebudayaan sebagai sumber nilai membutuhkan dukungan masyarakat yang terdidik. Kaum terdidik juga potensial sebagai agen penyadaran dan pewarisan kebudayaan. Pada konteks demikian guru diharapkan sangat memahami perannya sebagai kaum terdidik yang bertanggungjawab pada pewarisan budaya.
Membekali siswa menghadapi revolusi industri 5.0 mutlak butuh peran berbagai pihak. Seorang guru sebagai kaum terdidik yang sehari-hari berinteraksi dengan tunas bangsa diharapkan menyadari peran penting itu. Guru diharapkan mulai mengembangkan modul ajar bahasa berkearifan lokal yang dapat membekalkan kecakapan hidup era global.